Sutomo (Bung Tomo)
Sabtu, 12 Mei 2012 by Aldo Alkautsar in

Lahir :

Sutomo (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 3 Oktober 1920 – meninggal di Padang Arafah, Arab Saudi, 7 Oktober 1981 pada umur 61 tahun) lebih dikenal dengan sapaan akrab oleh rakyat sebagai Bung Tomo, adalah pahlawan yang terkenal karena peranannya dalam membangkitkan semangat rakyat untuk melawan kembalinya penjajah Belanda melalui tentara NICA, yang berakhir dengan pertempuran 10 November 1945 yang hingga kini diperingati sebagai Hari Pahlawan. Sutomo tercatat sebagai pahlawan nasional sejak 2 November 2008 melalui pengukungan oleh Menteri Informasi dan Komunikasi M Nuh. Beliau adalah tokoh popoler pada peristiwa pertempuran 10 November di Surabaya. Ia seorang orator, pembakar semangat juang untuk bertempur sampai titik darah penghabisan, mempertahankan harga diri, tanah air dan bangsa yang telah diproklamasikan tanggal 17Agustus 1945.

Pendidikan :

Sutomo dibesarkan di rumah yang sangat menghargai pendidikan. Ia berbicara dengan terus terang dan penuh semangat. Ia suka bekerja keras untuk memperbaiki keadaan. Pada usia 12 tahun, ketika ia terpaksa meninggalkan pendidikannya di MULO, Sutomo melakukan berbagai pekerjaan kecil-kecilan untuk mengatasi dampak depresi yang melanda dunia saat itu. Belakangan ia menyelesaikan pendidikan HBS-nya lewat korespondensi, namun tidak pernah resmi lulus.

Sutomo kemudian bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Belakangan Sutomo menegaskan bahwa filsafat kepanduan, ditambah dengan kesadaran nasionalis yang diperolehnya dari kelompok ini dan dari kakeknya, merupakan pengganti yang baik untuk pendidikan formalnya. Pada usia 17 tahun, ia menjadi terkenal ketika berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu Garuda. Sebelum pendudukan Jepang pada 1942, peringkat ini hanya dicapai oleh tiga orang Indonesia.

Karir :

Ayahnya adalah seorang serba bisa. Ia pernah bekerja sebagai polisi di kotapraja, dan pernah pula menjadi anggota Sarekat Islam, sebelum ia pindah ke Surabaya dan menjadi distributor lokal untuk perusahaan mesin jahit Singer. Sutomo dibesarkan di rumah yang sangat menghargai pendidikan. Ia berbicara dengan terus terang dan penuh semangat. Ia suka bekerja keras untuk memperbaiki keadaan
Pada masa remaja Bung Tomo aktif sebagai anggota Gerakan kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) kemudian setelah beranjak dewasa menjadi wartawan freelance di harian Soera Oemoem di Surabaya (1937). Beberapa tahun setelahnya, ia aktif menjadi wartawan dan menulis di berbagai surat kabar seperti, harian berbahasa jawa Ekspres, Pembela Rakyat, Poestaka Timoer dan pernah menjadi pemim[in Redaksi Kantor Berita Indonesia ( ANTARA) di Surabaya pada tahun 1945. Melalui ANTARA ia menyebarkan berita proklamasi Kemedekaan Indonesia dan menggugah masyarakat untuk tetap mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih dari bangsa- bangsa asing yang ingin kembali menjajah republik.


Seruan Patriotik Bung Tomo

Di masa Revolusi fisik saat Belanda dibantu Pasukan sekutu (NICA) mencoba merebut kembali kedaulatan Indonesia Bung Tomo dipercya sebagai ketua umum / pucuk pimpinan barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI). BPRI mendidik, melatih, dan mengirimkan kesatuan-kesatuan bersenjata keseluruh Tanah Air. Darah revolusionernya telah menghantarkan Bung Tomo pada semangat pantang menyerah terhadap pasukan sekutu yang mencoba kembali ke Indonesia. kemampuan beliau dalam berorasi dan melakukan agitasi massa sangatlah memukau. Melalui pidatonya di Radio Pemberontakan Rakyat Indonesia ia mengobarkan semangat perjuangan. Pidato tersebut kemudian di relay oleh RRI di seluruh wilayah Indonesia. Saat tentara sekutu (NICA) yang dipimpin oleh Inggris mulai melakukan Provokasi dengan menyebarkan beribu-ribu selebaran di kota Surabaya pada tanggal 9 November 1945 yang berisi Ultimatum agar semua pemimpin dan pejuang rakyat yang bersenjata di Surabaya harus menyerahkan senjatanya dan menyerahkan kekuasaan di Surabaya pada tentara sekutu. Ultimatum itu di jawab dengan tekad rakyat untuk mempertahankan Surabaya dari penguasaan tentara sekutu. Menjelang pertempuran Bung Tomo memberikan pidatonya yang fenomenal itu di radio, dengan berapi-api ia mengatakan : " Selama banteng-banteng Indonesia masih berdarah, yang dapat membuat secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapa pun juga ". Maka pada tanggal 10 November 1945 pecahlah perang yang merupakan wujud kegigihan seluruh lapisan masyarakat dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Bung Tomo ternyata berhasil mengangkat semangat perjungan di dalam dada para tentara rakyat.

Keberhasilnnya dalam mengangkat moral dan semangat tak lepas dari kemampuannya dalam membangkitkan perasaan cinta tanah air dan perasaan keagamaan sekaligus. Ia tak hanya mampu menjelaskan landasan sejarah dan kemanusiaan bagi kewajiban mempertahankan kemerdekaan Indonesia namun ia juga pandai menyisipkan pesan-pesan keagamaan sebagai landasan moral dalam gerakan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Pekikan "Allahuakbar" di iringi pekikan "Merdeka" disetiap akhir pidatonya, seakan menjadi simbol bersatunya unsur Nasionalisme dan Religiusme dalam diri setiap pejuang kemerdekaan.

Selain Itu konsistensi perjuangannya dapat dilihat dari sikap beliau terhadap kebijakan pemimpin pusat. Beliau kerap mengkritik para pemimpin di Jakarta yang dianggap tidak tegas dalam mensikapi kedatangan pasukan sekutu. Ketika ia datang ke Jakarta pada permulaan Oktober 1945 betapa kecewanya Ia saat melihat bendera Belanda masih berkibar di beberapa tempat penting. Tak lama kemudian Bung Tomo yang masih sangat Muda 'Nekat' menemui pemimpin bangsa seperti Sukarno, Hatta dan Amir Syarifuddin. Didepan para tokoh besar pemimpin bangsa itu ia berani mengkritik sikap pemerintah pusat yang dianggap lemah, kurang tegas dan sebaginya. Ia kemudian membandingkan dengan keadaan di daerah terutama di Surabaya yang berhasil membuat kocar-kacir kekuataan pasukan sekutu dan mampu mengganti bendera penjajah Belanda dengan mengibarkan sang Merah Putih. Menangapi kritikan itu Sukarno mengatakan bahwa dalam mempertahankan kedaulatan RI, pemerintah lebih mencari jalan keluar lewat forum perundingan dan menghindari pergolakan fisik karena tidak semua kekuataan bersenjata di wilayah Tanah Air telah siap bertempur seperti di Surabaya.


Perjuangan Setelah Kemerdekaan

Setelah Indonesia berdaulat penuh Bung Tomo meneruskan perjuangannya dalam dunia politik, Bung Tomo dipercaya menjadi Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata / Veteran sekaligus menjadi Menteri Sosial Ad Interim (1955-1956). di era Perdana Menteri Burhanudin Harahap. Bung Tomo juga tercatat sebagi anggota DPR pada tahun 1956-1959 yang mewakili Partai Rakyat Indonesia (PRI).

Dalam pandangan Bung Tomo berpolitik haruslah dengan etika dan tujuan politik adalah mensejahterakan masyarakat bukan hanya memperoleh kekuasaan semata. Ia selalu mengingatkan kepada para pejuang 45' yang telah mendapatkan jabatan di pemerintahan agar tetap teguh memegang idealisme, jangan sampai perjuangan yang telah dilakukan dimasa silam menjadi terdona karena 'Syahwat 'kekuasaan. Ia pun mulai gusar ketika para elit partai politik saling berseteru untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan.

Kemudian ia berpendapat Pemilu pertama di Indonesia 1955 belumlah tepat waktunya. Sebagai seorang yang telah menjadi politisi, Bung Tomo merasakan betul ketidaksiapan keuangan partai politik untuk menghadapi Pemilu. Pada akhirnya jalan yang ditempuh oleh sebagian oknum politisi adalah menjadikan departemen-departemen milik pemerintah yang di kuasai oleh politisi tertentu sebagai sumber keuangan partai. Inilah yang menurut Bung Tomo sebagai awal mula korupsi para pejabat negara di Indonesia


Kritis Terhadap Kesalahan Penguasa

Pada saat Sukarno menerapkan Demokrasi terpimpin, Bung Tomo berpendapat bahwa konsepsi ini terlalu dipaksakan dan belum apa-apa sudah harus diterima oleh masyarakat Indonesia. Setelah Sukarno jatuh dan digantikan oleh Suharto, sikap kritis beliau tidaklah luntur. Pada awalnya ia mendukung Orde Baru dan berharap Orba mampu merubah keadaan, namun ia melihat justru sebaliknya. Pada tahun 1970-an dalam berbagai pidatonya Ia membandingkan tingkat korupsi pada masa orde lama dan orde baru. Bila dimasa Orde lama korupsi hanya dilakukan oleh segelintir pejabat politisi negara namun di masa Orde Baru korupsi dilakukan secara masal mulai dari hansip sampai pejabat tinggi.

Dalam menyoroti kepemimpinan pada masa Orde Baru, Bung Tomo melihat adanya pergeseran budaya para birokrat yang cenderung korup terjadi karena adanya contoh dari pemimpin diatasnya. Regenerasi kepemimpinan mandeg tidak berjalan . Para pemuda tidak mempercayai kaum tua karena'dosa-dosa politiknya' begitu pun sebaliknya kaum tua tidak percaya dengan kaum muda karena sikap kritisnya.

Akibat kritikannya itu pada tanggal 11 Maret 1978 ia ditahan oleh pemerintah yang tampaknya sudah gerah mendapatkan kritikan-kritikan keras. Setelah bebas dari penjara ia tetap mengamati perkembangan politik.

Akhir :

Bung Tomo adalah contoh konsistensi seorang pejuang. Ia hidup dengan kesederhanaan dan tidak larut pada euforia kebebasan politik di masa Orba atau pun terpengruh dalam budaya permissive dan neofeodalisme ala Orde Baru. Ia tetaplah Bung Tomo yang bersahaja yang tidak pernah menonjolkan perannya dalam sejarah atau 'memperkosa sejarah' demi popularitas pribadinya. Tak heran bila gelar Pahlawan dari pemerintah Indonesia baru disematkan di namanya Pada tahun 2008. Walapun demikian Rakyat Indonesia telah lama mengagumi sosok beliau. Sosok Seorang 'Bung' yang telah menggetarkan Heroisme para pemuda Indonesia, memberikan keteladanan hidup mewariskannya pada generasi selanjutnya. Akhirnya pada tanggal 7 Oktober 1981 ia wafat ketika melaksanakan ibadah haji saat Wukuf di padang Arafah.

Posting Komentar